Pendidikan itu Untuk Siapa?

“Hanya mereka yang memiliki uang yang dapat meraih pendidikan tinggi dan membeli peluang menduduki posisi yang menentukan masa depan. Sebaliknya, betapa pun tinggi kemampuan dan bakat yang dimiliki, tanpa uang semua kemungkinan menjadi tertutup” [1]

Tulisan ini adalah sebuah renungan terkait pendidikan dimana adanya isu kenaikan SPP yang mungkin membuat penulis, ataupun sebagaian orangtua, masyarakat dan bahkan mahasiswa menjadi galau.

Pendidikan merupakan aset terpenting dalam pembangunan, dimana melalui peningkatan kualitas pendidikan berarti meningkatkan pembangunan negara. Selain itu, pendidikan merupakan indikator sosial yang mempunyai arti penting untuk meningkatkan taraf hidup masyarakyat, karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara yang bertanggungjwab atas pemenuhan hak pendidikan masyarakat[2]. Namun, kenyataan yang terjadi adalah bahwa tak semua orang bisa mengenyam pendidikan. Tingginya biaya pendidikan seakan menjadi tembok bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi, tetapi secara kognitif pula. Padahal jika dilihat dari peran pentingnya pendidikan, sejatinya pendidikan merupakan dasar bagi seseorang untuk meningkatkan taraf hidupnya[3]. Sehingga sudah jelas bahwa negara yang lemah dalam pendidikan sejatinya sudah tak mampu meningkatkan pembangunan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Anggaran APBN sebesar 20% pun tak mampu dan tak cukup dalam hal pembiayaan pendidikan. Rendahnya anggaran pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang serius dan klasik dari sejak awal kemerdekaan sampai saat ini yang selalu membelit pendidikan. Rendahnya anggaran pendidikan dan tingginya biaya pendidikan menjadikan biang kerok buruknya pendidikan.  Terlebih lagi dengan adanya pemungutan uang sekolah atau yang lebih sering disebut dengan istilah SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) telah cukup untuk menggambarkan betapa sulitnya bagi negara untuk membiayai seluruh pendidikan bagi warganya[4].

Melihat kondisi pendidikan seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menggadaikan tanggung jawabnya terhadap pendidikan. Negara yang turut dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tak mampu mengemban tugas. Kini peran negara sekarang hanyalah sebagai alat produksi belaka dan hukum jual beli pasar buaslah yang identik berlaku yaitu daya beli dan kemampuan menjual[5].

Celakanya pada sistem pendidikan kita menurut Fred Wibowo yakni  mulai dari tingkat pendidikan taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi telah mencerminkan watak bisnis yang mendasar, yaitu persaingan. Pendidikan bukan lagi mengembangkan empati, perhatian dan saling menolong, melainkan persaingan dan penggusuran, dimana pendidikan yang semakin diarahkan pada pemikiran fragmatis yang telah menjadikan orientasi institusi pendidikan menjadi sangat bisnis dan komersil, sedangkan pemikiran pengembangan idealism, kemampuan menciptakan konsep-konsep dan pemahaman nilai-nilai seta budi pekerti (etika) semakin berkurang bagi para siswa dan mahasiswa.

Komersialisme pendidikan, budaya penggusuran, dan kapitalisme jelas telah terlihat pada anak sejak taman kanak-kanak, sekolah dasar maupun tinggi. Pendidikan telah mengajarkan kita untuk bersaing. Terlihat persaingan itu dalam membayar lebih agar diterima di instansi pendidikan favorit, kalau tidak jangan heran bila banyak diantara ibu-ibu yang sederhana harus menangisi anaknya yang tidak diterima lantaran biaya sumbangan tak lebih besar.

Dengan demikian yang terjadi didunia pendidika kita adalah hanya mereka orang-orang yang memiliki uang yang dapat meraih pendidikan tinggi, kaum kelas menengah kebawah hanyalah menjadi kacung negara yang tersisih dalam peradaban dunia, kekal menjadi babu dan selalu terjerat pada rantai lingkaran hitam hidup yang menyengsarakan dan tentunya masyakat telah menjadi korban pembohongan publik yang mengatasnamakan rakyat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi kalau begitu sangat jelas kita menggugat, masyarakat Indonesia menggugat, pendidikan di Indonesia untuk siapa?

Referensi
Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat. Yogyakarta: Pinus Book publisher.
Baswir, Revrisond, dkk: 2003. Terjajah di Negeri Sendiri. Jakarta: Elsam
Kompas, selasa (28/2/2012)
Ed. Widiastono, Tonny C. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta:  Kompas Media Nusantara.
Eko Prasetyo. Pelanggaran Atas hak Pendidikan. Kepala Divisi Program Pusham UII dan penulis berbagai buku pendidikan: Orang Miskin Dilarang Sekolah (Resist 2004) Pengumuman tak Ada Sekolah Murah (Resist 2005) Guru: Mendidik itu Melawan (Resist 2006)

Ahmad Syaiful Hidayat
Mahasiswa Pendidikan Geografi
Kadept. Media dan Jaringan BEM FIS UNY 2012
Dimuat di Buletin LENTERA Edisi II, Bulan April 2012 dan Buku Lentera 2012

ORDER VIA CHAT

Product : Pendidikan itu Untuk Siapa?

Price :

https://ipungberjuang.blogspot.com/2017/05/pendidikan-itu-untuk-siapa.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Discussion