Tak Sebatas Bangku Kuliah

Pernah dimuat dalam buku "MERAH: Goresan Cendekiawan Muda Untuk Indonesia", diterbitkan oleh Departemen Media dan Jaringan BEM FIS UNY 2013. Desember 2013. Hlm. 73-85


Bersama Keluarga Besar Mahasiswa Pendidikan Geografi FIS UNY angkatan 2010 Reguler A






















CENDEKIAWAN MUDA:

MAHASISWA TAK HANYA SEBATAS DI BANGKU KULIAH

Mahasiswa pendidikan Geografi FIS UNY
ipung@gmx.com

Bukan menjadi sebuah rahasia umum lagi ketika kita berbicara tentang “Mahasiswa” dan segala yang  yang melatar belakanginya, baik dari sisi depan, belakang, atas maupun bawah. Pastilah tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Terlebih lagi soal peranan kaum intelek muda yang dikala itu para mahasiswa atau yang lebih sering disebut dengan para pemuda telah menjadi pelopor pergerakan perjuangan dalam merebut kemerdekaan sejati “INDONESIA” dari belenggu penindasan kaum penjajah. Dimulai dari lahirnya generasi 08 dengan gerakan pemuda pertamanya yang ditandai dengan berdirinya organisasi pertama, Boedi Oetomo (1908). Dilanjutkan dengan kongres pemuda pertama (1926) dan kongres pemuda kedua (1928) yang dikenal dengan generasi 28 berhasil melahirkan sebuah karya fenomel yang begitu luarbiasa dan terkenang hingga sampai saat ini “Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia”.

Lahirnya sumpah tersebut dirasakan sebagai pemacu tumbuh kembangnya benih-benih semangat perjuangan baru disetiap jiwa para pemuda saat itu untuk membulatkan tekad dengan satu kata, satu tujuan “MERDEKA”. Alhasil, selang waktu kurang lebih 17 tahun kemudian proklamasi kemerdekaan Indonesia berhasil dikumandangkan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak berhenti disitu, peran dan tugas pemuda disaat itu terus bergulir untuk mengisi kemerdekaan yang sepenuhnya belum berakhir.

Mengawal setiap langkah perjalanan para pemangku kekuasaan adalah salah satu diantaranya yang dilakukan pemuda saat itu. Mulai dari masa orde baru (1965), masa gejolak PKI (1966) yang kemudian memicu TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) “bubarkan PKI, bersihkan pemerintah dari unsur-unsur PKI dan turunkan harga”, dan terakhir yang tidak kalah hebatnya adalah ketika masa reformasi (1998). Keberhasilan pemuda saat itu adalah mampu menumbangkan pemerintahan rezim Soeharto (1966-1998) yang telah berkuasa selama kurun waktu 32 tahun.  Adapun selain yang telah disebutkan tersebut, tentunya masih banyak lagi yang belum dapat disebutkan satu persatu. Namun satu hal yang terpenting dari itu semua adalah kita patut berbangga hati “Siapalagi kalau tidak para pemuda, yang mampu membawa perubahan nyata di negeri ini?”.

Terlepas dari itu semua, pertanyaan yang kini terus mengusik hati kita semua sebagai generasi penerus adalah “kapankah euforia semuanya ini berakhir, hingga kita menyadari bahwa kita telah jauh dari apa yang menjadi cita-cita dari pemuda kala itu untuk kemerdekaan Indonesia yang sejati?”. Kemerdekaan yang belum berakhir ini adalah tanggungjawab kita semua, karena sepenuhnya kita belum merdeka dari kebodohan, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari korupsi dan tentunya merdeka dari segala bentuk penyimpangan dan penindasan yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Jawabnya ada di dalam diri kita masing-masing. Berhasil atau tidaknya bangsa ini tidaklah terletak dari seorang pemimpin saja, melainkan turut sertanya kita semua dalam menggapai keberhasilan tersebut.

Fenomena Mahasiswa Kini

Banyak yang menilai bahwa generasi mahasiswa kini tidak lagi sekritis generasi sebelumnya. Memang benar, karena setiap generasi memililiki masa nya sendiri-sendiri. Dimana perjuangannya pun juga berbeda-beda. Kalau tempo masa lalu para pemuda dan mahasiswa kritis berjuang dengan angkat senjata, namun di era pasca kemerdekaan ini masih relevankah kita dengan cara seperti itu? Tentunya tidak. Lantas pertanyaan selanjutnya adalah perjuangan seperti apakah yang relevan untuk pemuda dan mahasiswa masa kini?

Jawaban sederhananya adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Mengingat bahwa mahasiswa adalah kaum terpelajar yang kedepannya diharapkan dapat membawa perubahan lebih besar lagi untuk kemajuan bagi bangsa kita ini. Selain itu, pendidikan adalah kunci utama dalam membebaskan bangsa ini dari keterbelakangan, memerdekakan dari kebodohan, memerdekakan dari kemiskinan, memerdekakan dari korupsi, dan  tentunya memerdekakan dari segala bentuk penyimpangan dan penindasan yang menyengsarakan rakyat Indonesia.

Namun, ada yang aneh ketika kita melihat para mahasiswa di kampus. diantaranya banyak mahasiswa telah mengklasifikasikan diri sesuai dengan tipenya masing-masing. Ada yang hanya pekerjaannya sebagai kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat), kunang-kunang (kuliah nangkring-kuliah nangkring), Kuda-kuda (kuliah dagang-kuliah dagang), dan ada pula yang disebut dengan kuper (kuliah perpus).  

Terlepas dari tipe itu semua, cukup disayangkan jika selama menjadi mahasiswa banyak waktu yang terbuang hanya untuk sekedar hal-hal yang kurang bermanfaat atau hanya sekedar yang telah disebutkan sebelumnya. Padahal makna kata belajar sesungguhnya sangatlah luas, belajar tidak hanya sekedar di ruang petak segi empat yang dibatasi dinding-dinding bertepi, melainkan belajar bisa diperoleh dari mana saja, siapa saja, dan kapan saja. Banyak aktifitas yang dapat dilakukan mahasiswa untuk menggali kemampuannya (softskill) sebanyak-banyaknya di kampus, bukan mengejar kesenangan sesaat. Paling parahnya jika hanya mengejar nilai-nilai akademik saja, terlebih lagi jika mendapatkanya dengan cara yang tidak mencerminkan seorang akademis.

Lulus, Jangan Sekedar Lulus

Lulus tepat waktu dan memperoleh gelar cumlaude merupakan impian semua mahasiswa. Pasalnya penilaian akademis semacam itu dalam mindset kita merupakan hal yang sangat prestice dan membanggakan. Sehingga, dikemudian hari wajar bila banyak diantara kita masih menganggap sebagai symbol ataupun cap khusus yang melekat atas jaminan cerahnya masa depan seseorang. Parahnya lagi, praktis kalau kemudian semua orang turut berlomba-lomba mengejarnya dan tak hayal bila beragam cara apapun ditempuh meskipun dengan cara yang kurang baik sekalipun.

Jikalau kita melihat dalam ketatnya persaingan dunia kerja, penilaian yang kerap akan dinilai lebih adalah bukanlah pada penilaian akademis yang didewakan oleh sebagain besar orang saat ini. Melainkan penilaian yang lebih ditekankan pada pengalaman dan kemampuan keahlian atau ketrampilan (softskill) yang salah satu contohnya adalah pengalaman keaktifan mahasiswa dalam mengikuti keorganisasian atau kegiatan kampus. Hal ini tentunya dikarenakan dunia kerja akan lebih banyak terjun berhubungan langsung dalam berinteraksi dengan banyak orang. Sehingga kecenderungan seseorang yang aktif didalam organisasi atau kegiatan kampus akan jauh lebih siap untuk bekerja dan siap untuk segalanya dibandingkan dengan seseorang yang hanya sekedar berkutat banyak menghabiskan waktu dalam tataran teori belaka yang tentunya sangat minim praktik dan sangat tidak siap kerja.

Ketidaksiapan lulusan sejatinya akan berdampak pada angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang sebagaian besar bukan dikarenakan tidak adanya lapangan pekerjaan, melainkan lapangan pekerjaan yang ada tidak lagi dapat menampung banyaknya lulusan perguruan tinggi yang minim keahlian dan ketrampilan kerja. Berdasarkan data terbaru yang bersumber dari Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi alias sarjana mendominasi angka TPT sebesar 12,12 persen dari jumlah pengangguran nasional per Bulan Agustus 2012 yang mencapai  7,2 juta jiwa dengan TPT sebesar 6,14 persen. Jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan strata lulusan pendidikan dibawahnya seperti SMK yang hanya mencapai sebesar 9,87 persen, SMA 9,60 persen, SMP 7,76 persen, dan SD kebawah sebesar 3,64 persen (Republika, Rabu 12 Desember 2012).

Kalau dilihat dari tingkat jumlah penduduk Indonesia yang bekerja, terdapat sebanyak 110,8 juta jiwa telah bekerja dengan didominasi lulusan yang berasal dari pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 53,88 juta jiwa (48,63 %) dan lulusan SMP sebanyak 20,22 juta jiwa (18, 25%). Sementara lulusan Universitas yang sudah bekerja hanya mencapai 6,98 juta jiwa (6,30%) dan lulusan pendidikan Diploma hanya 2,97 juta jiwa (2,68%) (Kedaulatan Rakyat, Senin, 3 Desember 2012).

Berdasarkan data tersebut, kecenderungan terlihat sangat jelas bahwa lulus bukanlah sekedar lulus. Namun, seharusnya lulus itu lulus yang berkualitas yakni lulus bukan hanya lulus dengan baik di dalam kemampuan akademik saja, melainkan juga baik dalam beragam pengalaman dan kemampuan keahlian atau ketrampilan (softskill). Sehingga ketika seseorang lulus pun tidak akan lagi ada yang memikirkan kemana ia hendak akan pergi untuk mencari dan melawar pekerjaan, melainkan ia akan memikirkan bagaimana cara membuka dan menciptakan lowongan pekerjaan sendiri.

Kebijakan yang Kontradiktif

Terkait dengan kelulusan, beban mahasiswa sepertinya tidak pernah ada habisnya. Kita masih mengingat jelas pro dan kontra atas dikeluarkannya surat edaran dari Dirjen Dikti yang tertera dalam surat keputusan Kemendikbud No. 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 tentang publikasi karya ilmiah yang mewajibkan kepada setiap mahasiswa untuk membuat artikel ilmiah yang wajib dipublikasikan sebagai syarat kelulusan dengan alasan sebagai upaya untuk mengurangi plagiarisme dikalangan para akademisi dan kini mahasiswa akan dihadapkan dengan kenyataan kebijakan terbaru yang hendak dilaksanakan terkait dengan kelulusan yakni kebijakan pemberlakuan masa studi 4 (empat) tahun harus lulus. Sehingga mahasiswa yang masa studi lebih dari 4 (empat) tahun harus dikenakan sanksi putus masa studinya alias Droup Out (DO). Itu merupakan usulan kebijakan Rektor Universitas Negeri Yogayakarta (UNY),  Prof. Dr. Rochmat Wahab M. Pd, MA yang akan diberlakuakan di UNY kedepannya dan Perguruan Tinggi (PT) lainya untuk mulai menerapkannya dengan alasan bahwa lamanya masa studi akan menyebabkan terjadinya pemborosan biaya pada pendidikan dan menghabiskan masa usia produktif mahasiswa (Kedaulatan Rakyat, Rabu 19 Desember 2012).

Lama atau tidaknya dalam menempuh masa studi, seharusnya instansi pendidikan tidaklah terlalu mementingkannya jikalau mahasiswa benar-benar mampu memanfaatkan waktu yang ada untuk mengembangkan seluruh kemampuan potensinya baik akademis yang diperoleh dari kegiaatan perkualiahan, maupun non akademis yang diperoleh dari kegiatan ektrakulikuler atau keorganisasian sebagai bekal ketika mereka lulus nantinya.

Jika benar kebijakan ini dilaksanakan, yang menjadi pertanyaan adalah mungkinkah mahasiswa mampu menempuh masa studi hanya selama 4 (empat) tahun seperti kebijakan yang hendak dijalankan diatas? Jawabannya mungkin saja bisa, namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah  kualitas seperti apakah yang hendak akan dikeluarkan oleh perguruan tinggi ketika aturan kebijakan tersebut yang sangat terkesan memaksakan mahasiswa untuk belajar melebihi batas kemampuannya? yang dimana kita mengetahui dengan jelas bahwa kemampuan satu dengan orang lain yang tentunya berbeda-beda dan tidak sama?

Selain dinilai dari tingkat kemampuan, tentunya kita juga akan bertanya terkait dengan pengembangan pengalaman keorganisasian mahasiwa? Dimana yang telah dijelaskan sebelumnya diatas  bahwa pengalaman dan keahlian atau ketrampilan (softskill) sangat berpengaruh besar dalam melatih kesiapan kita dalam menghadapi dunia kerja.

Apabila kebijakan ini benar akan diterapkan, sudah dipastikan bahwa dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi hanya akan menghasilkan dan mencetak lulusan-lulusan terdidik saja, bukan lulusan-lulusan yang terampil dan siap dalam bekerja. Selain itu, sudah sangat terlihat jelas pula bahwa perguruan tinggi hanya akan mengejar banyaknya jumlah kelulusan (kuantitas) dengan mengabaikan kualitas para alumninya yang sepenuhnya tidak siap bersaing dalam ketatnya persaingan dunia kerja akibat dari kurangnya kesiapan dan bekal yang dimiliki. Sehingga yang ada lulusan hanyalah akan menjadi penambah rentetan panjang angka pengangguran intelektual yang kini kian meningkat saja dikalangan lulusan-lulusan perguruan tinggi (Kedaulatan Rakyat, 3 Desember 2012).

Oleh sebab itulah, pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 telah menyebutkan dengan jelas bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Maka sudah saatnya pendidikan dijadikan sebagai patokan bahwa kebijakan dalam mencetak generasi lulusan pendidikan haruslah yang benar-benar mencetak lulusan yang berkualitas. Sehingga, harapannya kedepan perguruan tinggi tidak akan sekedar meluluskan mahasiswa dengan membekali gelar sarjana dan ijazah semata, namun juga membekali pengalaman dan kemampuan keahlian atau ketrampilan (softskill) pula. Karena sekali lagi bahwa lulus itu penting, akan tetapi yang lebih terpenting adalah janganlah lulus dengan asal lulus.

KKN-PPL: Pengalaman Sekaligus Pengabdian Mahasiswa

Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau Pengalaman Praktik Lapangan (PPL) adalah program tahunan yang diselenggarakan oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia, salah satunya adalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). KKN/PPL merupakan wadah bagi mahasiswa untuk belajar dan mencari pengalaman dengan berperan aktif mengasah diri dalam meningkatkan kemampuan, keahlian dan keterampilan (softskill) yang diperolehnya dengan diterjunkan langsung ketengah kehidupan sosial masyarakat.

Harapan terbesar perguruan tinggi dalam program KKN/PPL sesungguhnya adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya mampu menjadi lulusan yang dapat bermanfaat bukan hanya untuk diri pribadinya sendiri, melainkan juga dapat bermanfaat bagi orang lain, nusa dan bangsa. Tepatnya adalah mahasiswa mampu mengaplikasikan teori dan ilmu yang diperolehnya selama belajar dibangku perkuliahan. Pendek kata, ilmu yang diperolehnya tidak akan sia-sia dan tentunya hal ini dapat menepis anggapan masyarakat luas yang menyatakan bahwa kaum intelektual hanyalah sekedar sarjana, master, maupun dokter “pohon pisang”, yang bermanfaat hanya sekali saja, setelah itu hilang dan mati.

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menyebutkan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi (sarjana) mendominasi angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 12,12 % dari jumlah pengangguran nasional per bulan Agustus yang mencapai 7,2 juta jiwa dengan TPT sebesar 6,14 %.  Menandakan bahwa perguruan tinggi masih belum optimal dalam memberikan bekal pengalaman yang nyata kepada para mahasiswa. Sehingga ketika lulus, mahasiswa yang terjun langsung kemasyarakat belum sepenuhnya siap untuk bekerja. Oleh sebab itulah, program KKN/PPL sudah sangat jelas dapat bermanfaat langsung bagi masyarakat luas yang sekaligus membantu mahasiswa guna memperoleh pengalaman nyata sebagai bekal masa depan. Hal ini sesungguhnya dikarenakan berpegang teguh pada prinsip bahwa pengalaman merupakan guru yang sangat berharga.

Praktis, kita menyadari dengan seksama KKN/PPL begitu bermanfaat besar bagi kita semua, terlebih lagi bagi bangsa Indonesia yang tengah mengalami porak poranda akibat beragam permasalahan yang begitu beragam dan sangat kompleks. Sehingga wajib hukumnya kita juga turut bertanggungjawab didalamnya termasuk mahasiswa yang kini masih diyakini sebagai agen perubahan (agent of change). Hal ini dikarenakan untuk membangun sebuah negara yang kokoh, kuat dan maju bukanlah tanggungjawab seorang presiden atau pemerintah saja untuk mewujudkannya, akan tetapi semuanya itu adalah tanggungjawab kita bersama, peran serta masyarakat Indonesia. Belajar dari apa yang pernah dikatakan Jhon F. Kenedy Presiden Amerika Serikat dalam pidatonya mengatakan bahwa “janganlah kita mempertanyakan apa yang telah diberikan negara kepada kita, akan tetapi pertanyakanlah apa yang telah kita berikan kepada negara”. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka setidaknya kita sudah saatnya berkaca pada diri kita masing-masing dan mempertanyakan kontribusi nyata apa yang hendak akan diberikan kepada negara sebagai bukti bakti dan cinta kita terhadap bumi pertiwi Indonesia. Berdasarkan hal diatas, setidaknya semoga KKN/PPL dapat menjadi jalan para mahasiswa maupun perguruan tinggi membuktikan pengabdiannya kepada bangsa dan negara.

Salah satu permasalahan yang tengah dihadapi bangsa kita terkait pendidikan adalah belum sepenuhnya pendidikan merata diseluruh penjuru pelosok nusantara. Kurangnya tenaga pendidik merupakan salah satu penyebab alasannya. Hal ini terjadi karena kurangnya kesiapan para tenaga ahli pengajar yang ditempatkan, sehingga berdampak pada pendidikan yang belum mampu menjamah ke berbagai pelosok penjuru nusantara.

Oleh sebab itulah, harapan penulis kedepan kepada perguruan tinggi sebagai penyelenggara program KKN/PPL yang sekaligus merupakan lembaga instansi perguruan tinggi negeri yang khsusunya berbasis kependidikan sudah saatnya benar-benar mampu memberikan sumbangsih kemajuan bangsa khususnya melalui pendidikan untuk kemajuan Indonesia yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan menempatkan mahasiswa pada lokasi KKN/PPL ketempat-tempat yang benar-benar membutuhkan. Karena pada dasarnya dengan cara inilah mahasiswa benar-benar dapat disiapkan untuk sepenuhnya mengabdi sebagai pendidik yang siap siaga untuk ditempatkan dimanapun tempat di seluruh Indonesia. Semoga itu terwujud karena untuk menjadi cendekiawan muda, mahasiswa tak hanya sebatas di bangku kuliah semata. []

ORDER VIA CHAT

Product : Tak Sebatas Bangku Kuliah

Price :

https://ipungberjuang.blogspot.com/2014/04/tak-sebatas-bangku-kuliah.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Discussion